User Tools

Site Tools


saparan_bekakak

This is an old revision of the document!


Saparan Bekakak

Salah satu upacara adat Saparan yang cukup terkenal dan sudah berlangsung sejak masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I adalah Saparan Bekakak yang dilaksanakan di Desa Ambarketawang, Gamping, Sleman, Yogyakarta. Ritual yang digelar sebagai bentuk permohonan keselamatan warga Gamping ini disebut Saparan Bekakak karena dalam pelengkap upacaranya terdapat sepasang pengantin bekakak. Tradisi isi sudah dilakukan sejak Keraton Ngayogyakarta ada sehingga usia upacara adat ini hampir seusia Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Tradisi ini secara rutin dilaksanakan pada hari Jumat, antara tanggal 10 hingga 20 dalam bulan Sapar. Saat ini Upacara Adat Saparan Bekakak menjadi salah satu potensi wisata unggulan Kabupaten Sleman yang gaungnya sudah menasional. Tiap kali upacara ini digelar, ribuan warga akan tumpah ruah dijalan raya untuk menyaksikannya.

Pelaksanaan Upacara Adat Saparan Bekakak ini terbagi menjadi beberapa tahap, yakni tahap midodareni pengantin bekakak, kirab bekakak, penyembelihan pengantin bekakak, dan sugengan ageng. Pengantin bekakak sendiri dibuat dua hari sebelum dilaksanakan kirab. Wanita yang menyiapkan bahan-bahan mentahnya dan pria yang mengerjakan pembuatan boneka bekakak. Proses pembuatan boneka bekakak ini akan diiringi gejog lesung atau kothekan yang mendendangkan berbagai tembang-tembang untuk pernikahan seperti kebo giro. Ada dua pasang pengantin yang dibuat, yang sepasang dihias bergaya Solo dan pasangan lainnya dihias bergaya Yogyakarta.

Setelah semua perlengkapan upacara yang meliputi pengantin bekakak, kembang mayang, gendruwo, serta joli berisi sesaji sudah lengkap, upacara bisa dilaksanakan. Prosesi upacara diawali dengan pengambilan air suci Tirto Donojati. Air suci beserta semua atribut upacara dibawa mengitari pelosok desa menuju balai pertemuan. Di bale desa ini kemudian dilaksanakan midodareni penganti bekakak. Semalam suntuk, warga desa akan tirakatan serta menggelar pertunjukan wayang orang atau ketoprak.

Keesokan harinya pengantin bekakak akan diarak menuju Gunung Gamping dan Gunung Kiling. Sebelum prosesi arak-arakan dimulai akan digelar pementasan fragmen “Prasetyaning Sang Abdi” yang menceritakan kisah Ki Wirosuto. Setelah pementasan itu berakhir, pada pukul 14.00 WIB arak-arakan akan dimulai. Selain pengantin bekakak dan tiga buah joli yang berisi sesajen, kirab ini juga diikuti oleh petinggi desa, bregodo (kelompok) prajurit, komunitas seni (jathilan), dan genderuwo.

Pengantin bekakak tersebut kemudian dibawa ke altar penyembelihan yang terletak di Gunung Kiling dan Gunung Gamping. Di hadapan ribuan warga yang menyaksikan, kedua pasang pengantin tersebut akan disembelih oleh salah satu utusan dari Keraton Yogyakarta. Prosesi ini kemudian ditutup dengan penyebaran gunungan dan potongan tubuh bekakak kepada seluruh warga yang hadir. Warga yang masih mempercayai tradisi “ngalap berkah” dari potongan bekakak atau isi gunungan pun akan saling berebut guna mendapatkannya.

Satu hal yang unik yang dijumpai dalam Saparan Bekakak Gamping adalah munculnya sekelompok anak yang berperan sebagai anak genderuwo. Anak-anak genderuwo yang berjumlah sekitar 50-an ini didampingi sepasang genderuwo serta banaspati yang bertugas mengawal pengantin bekakak. Anakan genderuwo menggambarkan lelembut dan setan Bekasakan yang sedang bersukaria dan bahagia karena akan mendapatkan korban berupa sepasang pengantin bekakak. Peran sebagai anak genderuwo ini sifatnya turun-temurun. Kalau dulu orang tua mereka pernah berperan sebagai anakan genderuwo, maka anaknya pun akan menjadi anakan gendruwo di tahun-tahun berikutnya.

saparan_bekakak.1428232769.txt.gz · Last modified: 2015/04/05 18:19 by nanda