User Tools

Site Tools


tapa_bisu_mubeng_benteng

Tapa Bisu Mubeng Beteng

oleh: Febe Nathania


Sejarah

“mubeng beteng” dahulu merupakan tradisi asli Jawa yang berkembang pada abad ke-6 sebelum Mataram-Hindu. Tradisi asli Jawa itu disebut muser atau munjer (memusat) yang artinya mengelilingi pusat. Pada saat itu, yang menjadi pusat yaitu wilayah desa, namun setelah berkembang menjadi kerajaan, maka tradisi ini pun berubah menjadi sebuah tradisi mengelilingi pusat wilayah kerajaan. Sumber lain mengatakan, “mubeng beteng” merupakan tradisi Jawa-Islam yang dimulai ketika Kerajaan Mataram (Kotagede) membangun benteng mengelilingi Kraton yang selesai pada tanggal satu Suro 1580. Para prajurit Kraton saat itu rutin mengelilingi (mubeng) benteng untuk menjaga Kraton dari ancaman musuh, yang pada waktu itu adalah Pajang.

Pengertian

Tradisi “tapa bisu mubeng benteng” merupakan ritual mengelilingi benteng Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat tanpa berbicara yang dilakukan untuk memperingati tahun baru Jawa 1 Sura. Ritual ini terbuka bagi siapa saja dan tanpa dipungut biaya. Di dalam melakukan tapa bisu ini, warga berjalan keliling benteng sejauh 5 kilometer tanpa berbicara, merokok, makan atau minum. Ritual ini bukan tradisi yang diciptakan oleh keraton, melainkan sudah menjadi tradisi asli masyarakat Jawa.

Tujuan

Tujuan dari ritual ini yaitu untuk perenungan diri, berintropeksi serta refleksi terhadap apa saja yang telah diperbuat selama satu tahun agar siap menghadapi tahun yang akan datang. Dalam perenungan ini, masyarakat diharapkan dapat menghilangkan perbuatan serta sikap yang negatif, sementara sikap dan perbuatan yang positif terus dipertahankan untuk kehidupan yang lebih baik. Selama menjalani ritual tersebut, masyarakat mengucap syukur serta memanjatkan doa permohonan untuk perlindungan, keselamatan (dijauhkan dari hal-hal yang buruk), kesejahteraan dirinya, keluarga, bangsa dan negara kepada Tuhan. Mubeng benteng ini hanyalah sarana agar semakin memahami dan menyadari bahawa kehidupan ini sudah ada yang mengatur, yakni Tuhan Yang Maha Esa.

Kronologi Acara

Pukul 22.00 pada malam 1 Suro, abdi dalem dan warga telah berkumpul di Pelataran Keben. Ritual ini diawali dengan pembacaan macapat atau kidung berbahasa Jawa. Persiapan mereka lakukan dengan membawa panji-panji Keraton Jogja, teplok atau lampu, dan menyan. Ritual Tapa bisu ini dimulai tepat pukul 00.01, setelah bunyi lonceng Kyai Brajanala berdenting sebanyak 12 kali yang terletak di Regol Kaben sebagai tanda pergantian hari. Ketika menjalani ritual tersebut seluruh abdi dalem mengenakan busana adat Jawa peranakan warna biru tua tanpa membawa keris dan tidak beralaskan kaki dengan membawa sejumlah bendera atau panji. Semua bendera atau panji merupakan lambang lima kabupaten dan kota di Provinsi Daerah Istimewa Jogjakarta (DIY), yaitu Kabupaten Sleman, Bantul, Kulonprogo, Gunungkidul, dan Kota Jogjakarta, serta panji abdi dalem.

Pada barisan depan dipimpin oleh para abdi dalem yang membawa panji-panji tersebut, dan diantaranya terdapat bendera merah putih. Kesembilan bendera tersebut melambangkan persatuan. Kemudian dibelakang barisan para abdi dalem adalah barisan masyarakat yang mengikuti perayaan ini. Arak-arakan ini diikuti oleh ribuan masyarakat serta membentuk barisan sepanjang 500 meter.

Rute

Rute yang dilalui adalah sebagai berikut: Keben – Jalan Rotowijayan – Jalan Kauman – Jalan Agus Salim – Jalan Wahid Hasyim – Suryowijayan – Pojok Beteng Kulon – Jalan Letjen M.T. Haryono – Jalan Mayjen Sutoyo – Pojok Beteng Wetan – Jalan Brigjen Katamso – Jalan Ibu Ruswo – Alun alun Utara.


DOKUMENTASI

tapa_bisu_mubeng_benteng.txt · Last modified: 2015/05/21 22:14 by febenathania