JATHILAN

by: Laksmita Widya A


Jathilan merupakan salah satu seni tari dari puluhan bahkan ratusan kesenian yang ada di Jogjakarta. Banyak orang yang menyebut jathilan dengan istilah kuda lumping, kuda kepang, ataupun jaran kepang. Jathilan ini merupakan perpaduan antara seni tari dengan magis dilengkapi dengan properti berupa kuda-kudaan. Disebut dengan jaran kepang (dalam bahasa indonesia kuda lumping) karena property kuda yang digunakan terbuat dari anyaman bambu. Dilihat dari asal katanya, jathilan ternyata berasal dari kalimat bahasa jawa, “jaranne jan thil-thilan tenan”, yang di artikan dalam bahasa Indonesia yaitu “kudanya benar-benar menari dengan banyak tingkah”.

Tidak ada sejarah yang mencatat asal-muasal dari kesenian jathilan ini. Banyak versi yang menceritakan bagaimana seluk-beluk dari kesenian tersebut. Kesenian ini sering kali selalu digambarkan dengan sebuah perjuangan seorang prajurit perang yang gigih melawan penjajah dengan menunggangi kuda. Salah satu dari sekian banyak cerita, jathilan berasal dari kisah perjuangan Raden Patah dibantu Sunan Kalijaga dalam melawan penjajahan Belanda, ada pula yang mengisahkan tentang prajurit Mataram yang sedang mengadakan latihan perang (gladhen) dibawah pimpinan Sultan Hamengku Buwono I, demi persiapan mengadapi kolonialis Belanda. Kisah jathilan bukan hanya sekedar cerita, namun terdapat filosofis didalamnya. Jalan cerita utama dalam seni Jathilan merefleksikan berbagai problematika yang timbul dalam hubungan antara masyarakat kelas atas dan kaum pekerja. Kelas pekerja yang diwakili para penari kuda digambarkan tanpa aturan, tak henti-henti bergerak. Tidak hanya cerita yang memiliki versi yang berbeda, namun jathilan juga memiliki jenis yang berbeda di setiap daerah.

Pagelaran ini ditarikan oleh sekelompok anak muda yang jumlahnya 6-8 orang. Didalam jathilan ini, terdapat istilah yang menggambarkan gerakan-gerakan tubuh yaitu pacak golu (menggerakkan kepala ke kiri dan kanan), siring (bergeser kesamping dengan setengah berlari), njondil (melompat), berguling, bahkan sampai kerasukan. Jathilan diiringi dengan set alat musik tradisional gamelan seperti saron, kendang, dan gong. Saat kerasukan roh halus, jathilan sudah mencapai klimaksnya. Para penari berada dalam keadaan ndadi alias kerasukan roh halus. Mereka hampir tidak sadar dengan apa yang di lakukan, sehingga gerakan yang mereka lakukan kacau balau. Terkadang apa yang mereka lakukan sangat berbahaya dan tidak dapat dinalar oleh akal pikiran manusia contohnya makan beling atau serpihan kaca. Karena adegan yang berbahaya, jathilan ini memiliki seorang pawang untuk mengeluarkan roh halus dari tubuh para penari. Selain itu, tugas dari seorang pawang jathilan yaitu melakukan suatu ritual yang bertujuan untuk memohon ijin kepada Tuhan agar jalannya pertunjukan diberi kelancaran, serta mengucapkan “permisi” kepada makhluk lain yang berada di sekitar panggung jathilan agar tidak menggangu jalannya pertunjukan.

DOKUMENTASI


Gambar ini di ambil ketika ada pertunjukan kelompok Jathilan pemuda Hangesthi Turonggo Budhoyo di jalan kaliurang KM 10, Ngalangan, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman

Sumber artikel: http://ensiklo.com/2014/10/jathilan-seni-pertunjukan-yang-menyajikan-cerita-sejarah/ http://krebet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=119:jathilan&catid=134:seni&Itemid=175

Sumber foto: http://atemosukopox.blogspot.com/